Untuk organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari satu divisi digunakan sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini menimbulkan mekanisme yang disebut transfer pricing. Transfer pricing adalah harga jual khusus yang digunakan dalam pertukaran antar divisi untuk mencatat pendapatan divisi penjual dan biaya divisi pembeli (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing juga dikenal sebagai intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional, atau internal pricing, yang merupakan harga yang digunakan untuk pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota dalam grup perusahaan. Transfer pricing biasanya diterapkan pada produk-produk antara, yang merupakan barang dan jasa yang disuplai oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga pasar yang disepakati. Oleh karena itu, transfer pricing sering kali dikaitkan dengan manipulasi harga yang sistematis untuk mengurangi laba dan, pada akhirnya, mengurangi jumlah pajak atau bea di suatu negara.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pada dasarnya praktik transfer pricing (dengan harga yang berbeda dari harga pasar) dapat didorong oleh alasan perpajakan (tax motive) maupun non-perpajakan (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal ini (Carson, 1979; Vaitson, 1974, dalam Caves, 1996). Motivasi perpajakan dalam transfer pricing dilakukan dengan cara memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak yang lebih rendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan ini bisa berupa pembayaran royalti, karena kurangnya standar harga pasar untuk royalti membuat administrasi pajak sulit mengatasinya. Kopits (dalam Caves, 1996) menyatakan bahwa setidaknya 13% pembayaran royalti dari negara berkembang (ke negara maju) merupakan transformasi dari royalti menjadi dividen. Selain itu, terkait dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves, 1996) menyebutkan bahwa berdasarkan studi tahun 1985, perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN menggunakan dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricing mereka. Semakin besar otonomi anggota perusahaan multinasional di luar negeri, semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin tidak stabil lingkungan operasi anggota perusahaan, semakin besar porsi penjualan ekspor dibandingkan dengan penjualan domestik, dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak untuk transfer pricing semakin luas.

Masalah transfer pricing ini juga terkait dengan fenomena bisnis perusahaan besar yang multi-unit yang melakukan ekspansi ke luar negeri dengan mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan menerapkan konsep cost-revenue atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep profit center desentralisasi ini juga berfungsi sebagai alat untuk mengukur dan menilai kinerja, yang merupakan salah satu tujuan manajemen dan motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional untuk mencapai tujuan perusahaan. Selain itu, ketatnya pengawasan oleh aparat pemerintah serta kebutuhan informasi mendorong pelaksanaan transfer pricing. Secara keseluruhan, faktor-faktor yang memicu munculnya masalah transfer pricing adalah:

Tujuan Transfer Pricing

Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan saat mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273). Selain itu, transfer pricing kadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan pembeli agar mengambil keputusan yang sejalan dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Sistem transfer pricing harus memenuhi tiga tujuan: evaluasi kinerja yang akurat, kesesuaian tujuan, dan mempertahankan otonomi divisi (Joshua Ronen dan George McKinney, 1970:100-101).

Dalam konteks perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk meminimalkan pajak dan bea di seluruh dunia. Transfer pricing dapat mempengaruhi pajak penghasilan keseluruhan perusahaan. Hal ini terutama berlaku untuk perusahaan multinasional (Hansen dan Mowen, 1996:496).

Tipe dan Metode Transfer Pricing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan multinasional dan divisi/departemen dalam kegiatan keuangannya meliputi:

1. Harga Transfer Berdasarkan Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)

    2. Harga Transfer Berdasarkan Harga Pasar (Market-Based Transfer Pricing)

      3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)

        Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional

        Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing pada perusahaan multinasional bertujuan untuk:

        Berikut ini contoh ilustrasi praktik transfer pricing yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional. Misalnya, perusahaan induk di Belgia memproduksi suatu produk dengan harga pokok Rp 100 dan tarif pajak di Belgia adalah 42%. Untuk menghindari pajak yang tinggi, perusahaan induk menjual produk tersebut ke anak perusahaan di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok (Rp 100), sehingga tidak ada pajak yang terutang atas transaksi ini. Barang tersebut kemudian dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Karena tarif pajak di Puerto Rico adalah 0%, tidak ada pajak yang terutang atas laba dari penjualan ini. Akhirnya, barang dijual kembali oleh anak perusahaan di Amerika ke perusahaan lain tanpa hubungan istimewa dengan harga Rp 200. Karena harga jual sama dengan harga pokok pembelian, tidak ada laba yang timbul, dan tidak ada pajak yang terutang.

        Contoh di atas menunjukkan pentingnya memahami tarif pajak di negara tertentu sebelum mengambil keputusan transaksi. Masalah transfer pricing perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari pemerintah, karena seringkali anak perusahaan di negara tertentu hanya berfungsi sebagai tempat transit. Sebuah survei oleh Ernst & Young LLP pada 1999 menemukan bahwa transfer pricing merupakan masalah utama dalam perpajakan bagi perusahaan multinasional di seluruh dunia selama dua tahun terakhir. Oleh karena itu, banyak kantor akuntan publik melakukan audit compliance untuk memeriksa transfer pricing yang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan.

        Sebagai langkah pencegahan, banyak negara memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan kembali laba dan biaya yang timbul dari transaksi antar divisi, sehingga dapat mencegah praktek transfer pricing yang mengurangi pajak terutang. Perusahaan multinasional berbasis AS harus mematuhi Internal Revenue Code Section 482 terkait penetapan harga transaksi antar perusahaan. Bagian ini memberi IRS wewenang untuk merealokasi pendapatan dan pengurangan biaya antar divisi jika diperkirakan alokasi ulang ini dapat mengurangi potensi penghindaran pajak (Hansen dan Mowen, 1996:543).

        Lebih lanjut, IRS menyatakan bahwa jika terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau transaksi dengan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, harga yang berlaku harus mencerminkan harga yang akan ditetapkan jika transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berhubungan, disesuaikan dengan perbedaan yang dapat diukur yang mempengaruhi harga (Hansen dan Mowen, 1996:543).


        Untuk pemahaman lebih lanjut mengenai transfer pricing dan dampaknya terhadap perusahaan Anda, hubungi Citra Global Consulting. Tim kami siap membantu Anda memahami dan mengelola strategi transfer pricing untuk memastikan kepatuhan dan efisiensi pajak. Hubungi kami sekarang untuk konsultasi profesional!