Masalah perpajakan sering kali dianggap sensitif, terutama bagi para wajib pajak seperti pengusaha. Setelah tahun 2017 diwarnai oleh berbagai kontroversi terkait peraturan perpajakan baru, tahun 2018 juga tidak kalah menarik dengan perdebatan seputar e-faktur, khususnya mengenai kewajiban pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada e-faktur yang harus diikuti oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dalam berbagai forum perpajakan online, muncul banyak komentar terkait aturan baru dari Direktorat Jenderal Pajak ini, yang membuat banyak PKP khawatir akan mendapatkan Surat Tagihan Pajak (STP) atau denda pada 2018 karena tidak mengikuti prosedur pembuatan e-faktur dengan benar.
Secara umum, wajib pajak di Indonesia bertanggung jawab atas beberapa jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta pajak lainnya. Sementara itu, PKP adalah pihak yang wajib menjalankan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan PPN.
Peraturan yang banyak diperbincangkan adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-26/PJ/2017 yang merupakan revisi dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2014 tentang tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak elektronik atau e-faktur.
Faktur pajak sendiri adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), atau sebagai bukti pungutan pajak atas impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Faktur pajak elektronik atau e-faktur adalah faktur pajak yang dibuat menggunakan aplikasi atau sistem elektronik yang telah ditentukan atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Penerbitan faktur pajak ini sangat penting bagi PKP karena berfungsi sebagai bukti bahwa mereka telah melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan faktur pajak ini, PKP juga berhak mengkreditkan pajak masukan dari BKP/JKP yang dibeli, sehingga beban PPN yang harus dibayar PKP menjadi lebih ringan.\
Baca Juga : Arus Kas dan Tujuannya
Sebagai contoh, sebuah pabrik pakaian yang berstatus PKP membeli kain dari pabrik tekstil dengan nilai Rp100 miliar. Ditambah PPN 10 persen, total pembelian menjadi Rp110 miliar. Pabrik tekstil akan memotong PPN tersebut dan menyetorkannya ke negara, sementara pabrik pakaian menerima faktur pajak masukan. Kemudian, kain tersebut diolah menjadi pakaian dan dijual dengan nilai Rp200 miliar. Ditambah PPN 10 persen, total penjualan menjadi Rp220 miliar. Dari penjualan ini, pabrik pakaian memotong Rp20 miliar sebagai PPN dan menyetorkannya ke negara. Sebelum disetor, jumlah PPN Rp20 miliar tersebut dikurangi terlebih dahulu dengan pajak masukan sebelumnya, yakni Rp10 miliar, sehingga pabrik pakaian hanya menyetor Rp10 miliar ke negara. Dari setoran ini, pabrik pakaian akan mendapatkan faktur pajak keluaran. Apabila pabrik pakaian tidak memotong PPN dalam penjualan, misalnya dalam kegiatan ekspor yang PPN-nya 0 persen, maka mereka dapat mengajukan restitusi untuk mendapatkan pengembalian dengan nilai yang sama seperti pajak masukan dari Direktorat Jenderal Pajak.
Kebijakan pembuatan dan pelaporan e-faktur mulai diterapkan pada 2014, dan pada awalnya hanya beberapa PKP tertentu yang diwajibkan membuat dan melaporkan e-faktur. Namun, sejak 2016, kewajiban ini berlaku secara nasional.
Dalam pembuatan e-faktur, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh PKP, salah satunya adalah mencantumkan NPWP pembeli dalam e-faktur. Namun, implementasi pencantuman NPWP pembeli ini masih belum sesuai harapan otoritas pajak, karena masih banyak pengusaha yang membeli BKP atau JKP tanpa mencantumkan NPWP mereka. Diduga, banyak pengusaha perorangan yang membeli barang dalam jumlah besar untuk dijual kembali tetapi tidak memiliki NPWP, yang menyebabkan ketidakadilan di antara wajib pajak, terutama bagi PKP yang patuh membayar pajak.
Untuk mengatasi hal ini, otoritas pajak mewajibkan PKP yang akan membuat e-faktur untuk mencantumkan NIK pembeli jika NPWP tidak tersedia. Penjual atau PKP sekarang diwajibkan meminta NPWP atau NIK dari pembeli mereka. Jika tidak, e-faktur yang diminta tidak akan diterbitkan atau disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan kewajiban mencantumkan NPWP atau NIK, Direktorat Jenderal Pajak berharap jumlah wajib pajak khususnya PKP akan meningkat. Saat ini, dari total 60 juta orang yang seharusnya memiliki NPWP, hanya sekitar 36 juta yang sudah memilikinya.
Kewajiban mencantumkan NIK ini diatur dalam pasal 4a ayat 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-26/PJ/2017, yang mulai berlaku pada 1 Desember 2017. Namun, kurang dari sebulan kemudian, aturan ini ditunda melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-31/PJ/2017 yang ditandatangani oleh Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pajak saat itu.
Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan otoritas pajak untuk menunda kewajiban mencantumkan NIK dalam e-faktur. Pertama, PKP membutuhkan waktu untuk menyesuaikan administrasi pembuatan dan pelaporan faktur pajak sesuai PER-26/PJ/2017. Kedua, aplikasi e-faktur perlu disempurnakan untuk mendukung validasi kelengkapan pengisian faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP. Ketiga, diperlukan sosialisasi kepada PKP dan masyarakat, serta diseminasi internal bagi petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar memiliki pemahaman yang sama dalam penerapan PER-26/PJ/2017.
Meskipun aturan baru tersebut ditunda, implementasi pencantuman NIK dalam e-faktur masih diragukan ke depannya, karena pencantuman NPWP atau NIK sangat bergantung pada kesadaran pembeli.
Perlu dicatat bahwa PKP yang tidak membuat e-faktur atau membuatnya tetapi tidak mengikuti tata cara yang ditentukan, dianggap tidak membuat faktur pajak dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 persen dari dasar pengenaan pajak. Persoalan ini akan semakin kompleks jika ada penjual atau PKP yang dengan sengaja mengakomodasi keinginan pembeli yang tidak ingin mencantumkan NPWP atau NIK mereka.
Kewajiban pencantuman NIK pembeli dalam faktur pajak dianggap tidak sejalan dengan pelaksanaan UU No. 42/2009 tentang PPN. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan aturan baru ini bisa digugat oleh wajib pajak. Pasal 13 ayat 5 UU No. 42/2009 tentang PPN tidak menyebutkan NIK sebagai informasi wajib dalam faktur pajak, sehingga kewajiban ini tidak sesuai dengan UU PPN. Jika ada wajib pajak yang merasa dirugikan, mereka bisa menggugat aturan ini. Namun, kita berharap hal ini tidak terjadi karena akan mempengaruhi kredibilitas otoritas pajak.
Di sisi lain, kewajiban pencantuman NIK dalam faktur pajak sebenarnya merupakan langkah yang baik dari otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan, terutama mengingat banyaknya kasus pengusaha perorangan yang tidak mau mendaftar sebagai PKP meskipun seharusnya.